Aku, bukan dia

kala
3 min readNov 18, 2021

--

“aku… selama ini cuma jadi tempat singgahmu,”

Nafasku tercekat

“iya, kan?”

Lutut Keisya lemas seketika setelah Sangyeon memberi anggukan sebagai jawaban. Kakinya tak sanggup menopang badan ini, terduduk di salah satu kursi taman. Pikirannya pun melayang, semua rencana yang telah ia susun untuk hari ini tiba-tiba buyar begitu saja.

“Kenapa, kak?”

Air matanya mengalir begitu saja. Selama ini Sangyeon tak pernah membuat Keisya menangis, bahkan untuk sedih pun sama sekali tak pernah ia beri. Tapi saat ini, Sangyeon lah yang membuatnya merasakan sedih, kecewa dan marah dalam satu waktu.

“KAK SANGYEON, JAWAB AKU!”

Sangyeon masih betah membungkam diri. Arah pandangnya sedari tadi hanya tertuju pada rerumputan yang mereka injak. Jujur saja Keisya tak suka melihatnya begini. Kenapa lelaki suka sekali untuk diam saat kesalahannya terungkap?

“Maaf…” Sangyeon membuka suara.

“Kenapa, kak?”

“Helena udah sadar dari komanya, Kei. Aku harus balik lagi ke dia, dia butuh aku, dia nunggu aku”

“Terus aku gimana, kak…”

“Maaf, Keisya…”

Dua jam yang lalu Sangyeon sibuk berlalulalang di koridor rumah sakit, menunggu kabar seseorang yang sebenarnya masih ia sayang. Helena, mantan pacarnya yang sudah tertidur lama di rumah sakit selama kurang lebih satu setengah tahun. Tentu saja sebenarnya belum ada kesepakatan putus dari kedua pihak. Namun, Sangyeon sudah menganggap putus dengan Helena karena merasa tak ada harapan lagi. Dan ia pun mencari pengganti Helena, Keisya lah orangnya.

Hari ini, saat Sangyeon sedang mengendarai mobil dengan niatan ingin berkencan dengan Keisya, ia mendapat sebuah pesan dari ibu Helena. Beliau berkata bahwa putri semata wayangnya menunjukkan tanda-tanda siuman. Sangyeon langsung memutar arah menuju rumah sakit, melupakan janjinya dengan Keisya.

“Gimana, dok?”

“Pasien sudah siuman, sudah boleh dijenguk tapi jangan terlalu ramai.”

Ibu Helena mengusap punggung Sangyeon perlahan, “Kamu masuk duluan, nak. Pasti kamu kangen banget kan sama dia? Ibu mau bicara sebentar sama dokter.”

“Iya, mah. Sangyeon masuk dulu, ya.”

Keisya meregangkan tubuhnya. Sudah hampir satu jam ia menunggu kekasihnya di taman dekat rumahnya. Mereka memiliki janji di hari ini untuk berkencan, titik temunya di taman yang berada tak jauh dari rumah Keisya. Namun sudah satu jam dari waktu yang telah disepakati, Sangyeon tak kunjung datang.

“Lama banget, deh, tumben. Kemana ya? Apa ada sesuatu ya dijalan? Atau ada urusan mendadak?”

Dari pada mati penasaran, Keisya memutuskan untuk mengirimkan pesan padanya.

‘Hey, are you ok? Kok belum dateng, sayang? Kamu gapapa, kan?’

Sebelum Keisya menekan tombol send, ia lebih dulu mendapat pesan dari Sangyeon.

‘Kei, kamu masih disana? Aku otw ya, sekalian ada yang mau aku bicarain sama kamu. Maaf ya jadi nunggu lama, tadi aku ke rumah sakit dulu, Helena siuman’

Keisya enggan berbicara. Setelah mendengar penjelasan Sangyeon ia jadi paham. Ia paham kalau dia selama ini hanya jadi yang kedua, ia hanyalah pelarian, hanya tempat singgah. Sangyeon mengejarnya dengan alasan semua yang ada pada Keisya sangat mirip dengan Helena, mulai dari raut wajahnya, penampilannya, hingga sifatnya.

Keisya jelas marah, tapi di satu sisi ia pun merasa tak tega kepada Helena, karena Helena tak tahu apa-apa tentang hubungannya dengan Sangyeon.

“Pergi, kak. Samperin Kak Helena. Kasian, kak. Dia pasti kangen kakak, kakak juga pasti kangen sama dia, kan?”

“Kamu gimana? Atau kita lanjutin aja diem-diem dibelakang Helena..?”

“Hah? Kak, kamu gila?”

“Aku sayang kamu… Aku juga sayang Helena…”

“Kak, lo pikir gue ini perempuan macam apa?”

Sangyeon membisu

“Kak, gue gak mau kayak gini. Gue kaget banget ternyata lo orangnya kayak gini. Gak ada orang yang mau jadi yang kedua, kak. Terus, gue ini bukan bayang-bayang Kak Helena. Gue Keisya, kak. Gue bukan Helena.”

Sangyeon menahan tangan Keisya saat ia hendak pergi. Namun, sebuah kesalahan kembali dilontarkan Sangyeon, “Helena, jangan pergi…”

“GUE BUKAN HELENA, GUE KEISYA!” Perempuan itu menghempas tangan Sangyeon kasar dan bergegas pulang ke rumah sambil menyeka air mata yang mengalir tak henti-henti.

Sangyeon menghela nafasnya dan merogoh saku celananya saat ponselnya bergetar menandakan ada panggilan masuk, dari Ibu Helena. Sangyeon mengangkat panggilan tersebut.

Tubuh Sangyeon ambruk setelah mendengar ucapan dari seberang sana.

“Nak…. Helena… Sudah dipanggil Yang Maha Kuasa…”

Sangyeon terdiam. Ia tak tahu sekarang harus melakukan apa. Ia tak tahu jalan hidupnya akan seperti apa. Ia tak tahu balasan apa yang akan ia dapatkan. Ia tak tahu berapa lama penyesalan ini akan menghantuinya.

Satu hal yang Sangyeon tahu,

Ia, kehilangan dua permatanya.

Sign up to discover human stories that deepen your understanding of the world.

Free

Distraction-free reading. No ads.

Organize your knowledge with lists and highlights.

Tell your story. Find your audience.

Membership

Read member-only stories

Support writers you read most

Earn money for your writing

Listen to audio narrations

Read offline with the Medium app

--

--

kala
kala

No responses yet

Write a response